Pertanyaan:
Apa tujuan utama kaum munafik dan mengapa Al-Qur’an memberi perhatian besar terhadap mereka?
jawab:
Masyarakat terbagi tiga macam,
Pertama, masyarakat yang secara perorangan (individu) berusaha mencegah dirinya sendiri dari godaan nafsu yangmendorong kepada kejahatan (ammarah bissu), kemudian digugah oleh nafsunya sendiri yang menyalahkannya dan mengoreksinya (lawawamah), sehingga menjadi nafsu yang tenang (mutmainnah). Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang demikian selalu diliputi kebaikan.
Apabila tidak memiliki nafsu yang menggugah dan mengoreksi (lawwamah), orang-orang lain yang memiliki nafsu demikian yang akan melakukannya.
Jadi yang pertama dari nafsu kepada nafsu. Nafsu lawwamah menggugah dan mengoreksi nafsu ammarah sehingga terjadi keseimbangan pada dirinya tanpa campur tangan pihak luar.
Kedua, perorangan (individu) yang hanya memiliki nafsu ammarah (pendorong ke arah kejahatan) tanpa mau mengoreksi diri sendiri. Kemudian tampil kaum yang ditugaskan Allah SWT untuk memelihara unsur-unsur kebaikan dan mengajak masyarakat kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran.
Ketiga, masyarakat yang ditimpa malapetaka karena kebatilan dan mungkar telah melanda seluruh aspek dan segi kehidupannya. Di saat itulah ajaran dari langit turun campur tangan karena manusia sudah tidak mampu lagi memperbaiki keadaan mereka dengan menghapus kejahatan pada sesamanya.
Tampaknya sudah jadi suratan-Nya bahwa jika kebatilan mencapai puncaknya, datanglah hak (kebenaran). Tetapi kebatilan itu tidak mudah menyerah terhadap kebenaran. Dia selalu berusaha dengan gigih untuk mempertahankan kedudukannya dengan segala keganasan dan kekejiannya. Dia juga akan menentang dan melawan hak dengan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya, baik secara terbuka (konfrontatif) maupun secara sembunyi-sembunyi.
Nafsu manusia selalu mendambakan kekuatan, tetapi dalam kadar yang berbeda. Ada yang merasa mengungguli yang lain, ada yang merasa harus benar-benar kuat sebelum mengungguli yang lain, dan ada pula yang merasa tidak kuat baik bagi dirinya apalagi untuk mengungguli yang lain.
Seorang yang beriman memiliki kekuatan dan ketabahan, selalu berpegang pada ajaran Allah sehingga mampu menghadapi keganasan dan kekejian kebatilan.
Dalam diri seorang mukmin terdapat dua kekuatan, tetapi dalam diri seorang kafir hanya terdapat satu kekuatan. Dirinya tidak mampu memikul beban pelaksanaan ajaran Allah. Kekuatan yang milikinya, hanyalah mengikuti seruan kebatilan untuk menentang ajaran Allah.
Ada juga golongan lainnya, yaitu mereka yang lemah dalam mengikuti hak dan lemah pula dalam menentang kebatilan. Mereka sedikit pun tidak mempunyai kekuatan bagi dirinya sendiri, karena itulah dia tidak mampu menerima kebenaran. Golongan inilah yang disebut munafik.
Nafsunya sangat ganas dan rakus karena seluruhnya telah dikuasai oleh kebatilan. Dia tidak mampu lagi mengendalikan dan mengekang diri sendiri.
Dia takut menentang para penganjur kebenaran. Lalu berpura-pura menyatakan keimanannya, meskipun dia tidak punya kekuatan dan kemampuan untuk menerima kebenaran. Mereka ini (kaum munafik) lebih berbahaya dari kaum kafir. Sebab orang kafir menolak dan menentang secara jelas dan terang-terangan, sedangkan kaum munafik mengaku beriman hanya untuk mencari dan mendapatkan perlindungan dan kepentingan diri.
Kaum muslimin mengira mereka dapat menambah kekuatan barisan umat Islam, padahal merekalah musuh dalam selimut yang mampu melemahkan kekuatan kubu hak (kebenaran) dari dua segi. yaitu.Pertama, kaum munafik menganggap kebenaran sebagai perisai untuk melindungi dirinya. Kedua, kaum munafik kurang puas dan kurang yakin dengan keimanan mereka. Karena itulah mereka menghunus pedang yang lain untuk mematahkan dan mengalahkan kebenaran dengan berlandaskan pada keganasan dan kekejian serta kerakusan, dan mereka bekerja dalam kegelapan dan kekeruhan, sehingga lawannya tidak menyangka akan kehadirannya Mereka lebih banyak merugikan Islam daripada orang kafir karena itulah Islam memberikan perhatian utama kepadanya.
Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab Karya Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi