Pertanyaan:
Apakah keimanan kepada yang gaib merupakan asas untuk memeluk agama? Derajat keimanan yang bagaimana yang dapat mencapai puncak keimanan?
Jawab:
Ya, karena hal itu merupakan salah satu dari rukun iman. Firman Allah,
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib.” (al-Baqarah: 2-3)
Sedangkan puncak keimanan ialah,
- Beriman kepada yang paling gaib yang sama sekali tidak mungkin dilihat oleh kekuatan mata manusia, yaitu Allah SWT.
- Beriman kepada yang belum atau tidak pernah kita lihat, yaitu malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan pada hari akhir (meliputi surga dan neraka).
- Beriman kepada segala yang difirmankan Allah SWT.
Apabila kita meragukan firman Allah tentang penciptaan malaikat, hal itu berarti mengukur benar-tidaknya Allah dengan kekuatan penglihatan mata kita, padahal soal ada atau tidak adanya malaikat tidak dapat diukur dengan kemampuan penglihatan kita, seperti kita percaya adanya ruh dalam diri kita meskipun kita belum pernah melihatnya. Kita bisa mengetahui adanya roh dengan merasakan pengaruh roh itu pada jasmani kita.
Untuk meyakini adanya Allah SWT, kita dapat memulainya dengan merenungkan ciptaan-ciptaan-Nya sebagai bukti kebe-naran-Nya. Misalnya, sebelum manusia bisa melihat kuman (bakteri), mereka sudah bisa melihat akibat yang ditimbulkan oleh kuman itu, misalnya penyakit disentri, badan yang terasa panas dingin, adanya wabah menular, dan lain-lain. Tetapi mereka menduga penyebab penyakit atau kematian itu karena adanya serangan dari makhluk halus (jin).
Setelah ilmu pengetahuan maju pesat dan Allah SWT. mengizinkan akal manusia menemukan alat pembesar (mikroskop), barulah manusia dapat melihat kuman itu.
Berdasarkan hal ini kita dapat menyimpulkan, bila mata belum mampu melihat sesuatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada.
Jika orang-orang zaman dahulu diberi tahu tentang adanya kuman yang menyebabkan penyakit, pasti mereka tidak akan percaya.
Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab Karya Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi