Kebaikan dan keburukan merupakan persoalan yang sering mengundang perdebatan. Sebabnya ialah kekeliruan manusia dalam memaknai kehidupan yang sesungguhnya. Umumnya mereka mengukur segala sesuatu dari sudut pandang kehidupan duniawi yang menurut mereka merupakan tujuan akhir. Mereka melelahkan diri sendiri dan melelahkan orang lain. Setiap orang yang berpersepsi bahwa dunia merupakan tujuan utama, akan dibuat oleh Allah lelah dengan urusan duniawinya, lalu tidak menghasilkan sesuatu apapun.
Memang dunia adalah tujuan bagi selain orang mukmin, karena ia tidak meyakini adanya akhirat, la tidak mempercayai adanya kehidupan yang kekal abadi. Seluruh perhatiannya dan cita-citanya tercurah kepada kehidupan dunia sekarang ini. Padahal seandainya ia mau menengok dengan logika orang yang berakal, niscaya akan ia sadari bahwa dunia ini tidaklah mungkin menjadi satu-satunya kehidupan bagi manusia. Mengapa demikian? Karena usia hidup di dunia ini hanya perkiraan saja, bukan kepastian. Hanya berdasarka angan-angan, bukan keniscayaan. Manusia bisa saja berharap hidup sampai usia 60 tahun, 70 tahun atau lebih lama dari itu. Tetapi perlu di ingat, tidak sedikit orang yang meninggal dunia setelah hidup di dunia hanya sesaat. Ada yang usianya hanya sehari, ada yang beberapa minggu atau bulan, ada pula yang meninggal setelah mencapai usia tua renta.
Manusia dengan watak aslinya menginginkan bisa bertahan hidup di dunia dalam waktu yang lama sekali, tetapi keinginan itu tidak didasari keyakinan yang pasti. Bisa jadi kematian datang merenggutnya secara tiba-tiba. Tidak ada seorangpun yang mengaku dapat memastikan sampai kapan ia hidup, atau menebak dengan tepat berapa usianya di dunia ini.
Tetapi manusia bisa mengetahui secara meyakinkan berapa usianya di ahirat? yaitu kekal abadi, tidak akan mati selama-lamanya. Di sana ia menikmati segala kenikmatan surgawi yang tidak akan sirna, atau ia merasakan pedihnya hukuman di neraka yang tidak akan pernah putus.
Jika kita ingin menilai sesuatu secara obyektif terkait dengan manusia, hendaklah kita menjadikan akhirat sebagai standar yang selanjutnya kita tetapkan menjadi tolok ukur penilaian, agar supaya hasilnya benar dan tepat. Tetapi karena kelalaian kita, maka paradigma dalam melihat kebenaran dan keburukan bagi mayoritas kita hanya terfokus pada kehidupan duniawi saja, dengan asumsi bahwa dunia adalah tujuan utama, bukan sekedar sarana. Dengan demikian, apa saja yang dapat mendatangkan kesenangan dan kenikmatan di dunia ini kita anggap sebagai kebaikan, dan apa saja yang menyebabkan penderitaan, kesengsaraan dan keterhalangan kita untuk memperoleh kesenangan, kita anggapnya sebagai keburukan.
Selama paradigma yang kita pahami seperti itu, dan selama kita hidup dengan paradigma yang keliru itu, maka selama itu pula hidup kita sengsara, karena kita jauh dari Allah SWT.
Manusia umumnya menilai kebaikan dan keburukan secara subyektif, hanya melihatnya dari standar kepentingan pribadinya, tanpa mau melihat lebih mendalam lagi. Standar pribadi Ini tidak dapat digunakan untuk memastikan kebalkan dan keburukan yang sesungguhnya, sebab standar itu sempit dan egois yang tidak bisa menembus mana yang baik dan mana yang buruk.
Jika kita mengukursuatu peristiwa dengan standar kita sendiri, maka peristiwa itu dapat kita katakan baik bagi seseorang dan buruk bagi orang lain. Kita ambil contoh; Sebuah Departemen dibubarkan misalnya, dan sebagai gantinya telah dibentuk Departemen baru. Peristiwa ini merupakan keburukan bagi para pegawai Departemen yang dibubarkan, sedangkan bagi pegawai yang baru direkrut untuk departemen yang baru merupakan kebaikan yang patut diberi ucapan selamat. Padahal peristiwanya adalah sama. Tetapi bisa dinilai kebaikan bagi sebagian orang dan keburukan bagi sebagian yang lain.
Kita boleh bertanya. Bagaimana satu peristiwa bisa dinilai baik dan buruk dalam waktu yang sama? Bagaimana satu peristiwa dapat memadukan kebaikan dengan keburukan secara bersamaan?
Pasti standar yang dipakai untuk menilainya bermasalah. Itulahsebabnya iatidak bisa memberikan arti yang sesungguhnya pada peristiwa yang dinilai. Andaikata standar itu tidak bermasalah, tentu tidak akan terjadi kelainan dan perselisihan dalam memahami arti peristiwa. Tetapi karena standarnya memang sudah cacat maka cacat pula pemaknaan pada setiap peristiwa. Itulah hakikat yang harus kita perhatikan ketika kita membahas persoalan kebaikan dan keburukan.
Standar egois yang sempit, sebagaimana yang kami katakan, tidaklah bisa dijadikan ukuran untuk menilai persoalan ini (kebaikan dan keburukan). Harus ada standar lain yang ditetapkan oleh Allah di alam raya ini. Standar itulah yang bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai dan menemukan makna yang sejati bagi setiap peristiwa.
Standar ini tidak bisa kita gapai melalui pemahaman kita yang sempit dan terbatas dengan sekelumit pengetahuan yang kita miliki. Banyak persoalan-persoalan tidak terlihat membuat kita tidak layak menilainya sebagai hal yang baik atau buruk di dunia ini. Kita hanya menilainya dari kulitnya saja tanpa mengerti maknanya, akhirnya kita mengeluarkan penilaian jauh dari esensinya.
Jika kita ingin mengukur alam raya ini dengan ukuran manusia terkaitdengan fungsinya,yaknifungsi yang menjadi tujuan penciptaan manusia itu, haruslah kita pahami bahwa Allah SWT telah meletakkan neraca yang begitu cermat untuk dinamika kehidupan di alam raya ini. Neraca itulah yang dapat menilai segala sesuatu. Pertama ialah neraca keindahan dalam alam raya ini, dalam arti sesuatu itu berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam hidup ini.
Itulah sebabnya, semua ketentuan hukum di alam raya Ini mengandung implikasi agar manusia melaksanakan tugas dan fungsinya. Jika manusia mempermainkan, mengabaikan dan tidak mengikuti ketentuan-ketentuan hukumnya, maka rusaklah kehidupan ini, muncullah keburukan-keburukan, dan hilanglah keindahan dan keserasian kehidupan, sebab neraca keindahan dapat kita temukan di alam raya ini pada setiap dinamika kehidupan.
Sumber : Terj. Al Khoir wa Syar
karya As Syeikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi