Manusia menganggap bahwa kebaikan itu terletak pada harta kekayaan, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Harta kekayaan yang semestinya menjadi nikmat, bisa jadi merupakan bencana bagi anda. Anda beranggapan bahwa kerelaan Allah terdapat pada kekayaan, pengaruh dan jabatan, padahal yang demikian itu bisa jadi pertanda ketidakrelaan Allah.
Di dalam Al-Quran, Allah menjelaskan tentang hakikat ini dan memberikan kepada kita berbagai perumpamaan untuk mempertegas bahwa harta kekayaan itu bisa berubah menjadi sarana yang menjembatani seseorang kepada kekafiran, kediktatoran dan kemaksiatan. Banyak contoh-contoh tentang kenyataan ini, tetapi kita paparkan sebagian saja, antara lain dalam firman Allah :
ألم تر إلى الذى حآج إبراهيم فى ربه أن آتاه الله الملك إذقال إبراهيم ربى الذى يحي ويميت قال أنا أحيى وأميت قال إبراهيم فإن الله يأتى با لشمس من المشرق فأت بها من المغرب فبهت الذى كفر والله لا يهدى القوم الظالمين
(Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) lantaran Allah telah memberikan kepada orang itu kekuasaan. Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya juga bisa menghidupkan dan mematikan”, Ibrahim berkata ; “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat,” lalu terdiamlah karena heran orang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim). Qs Al-Baqarah : 258
Orang yang dimaksud dalam ayat di atas tidak penting bagi kita mengetahuinya siapa dia itu ? Karena kisah-kisah dalam Al-Quran tidak mementingkan tokoh tertentu, cukuplah bagi kita pelajaran moral keimanan yang dapat kita petik dari pemaparan kisah-kisah itu. Umumnya peristiwa dalam kisah-kisah itu terulang terus di setiap zaman dan ruang, karena sifatnya yang umum, bukan terhenti pada tokoh-tokoh pelakunya secara khusus. Kecuali kisah Maryam Binti Imran dan Isa Bin Maryam Alaihimas-salam. Kisah kedua insan tersebut satu-satunya kisah yang unik dan tertentu tokohnya di dalam Al-Quran, karena peristiwanya tidak akan terulang lagi untuk selama-lamanya.
Lelaki kafir itu ketika Ibrahim Alaihis-salam datang untuk memberikan petunjuk kepadanya ke jalan Tuhan, spontan ia bangkit menghardik Ibrahim dengan argumentasi yang ia kemukakan untuk melawan aturan hukum Tuhan. Allah SWT memberinya kerajaan, di samping pengaruh, otoritas dan harta kekayaan, tetapi ia yangseharusnya mengakui karunia Allah SWT berikut mensyukuri anugerah nikmat-Nya, justru ia mendebat Ibrahim Alaihis-salam dengan argumentasi kekafiran dan kecongkakan. Seakan-akan kerajaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada dirinya tidak membuatnya beriman tetapi justru menambah kekafirannya dan membuatnya ingkar terhadap adanya Allah SWT (semoga Allah melindungi kita semua).
Peringatan Ibrahim kepadanya bahwa Tuhan adalah Yang memberi kehidupan dan Yang mencabut kehidupan, tidaklah membuat lelaki itu mengakui kebesaran Tuhan Allah SWT dalam menghidupkan dan mematikan, tetapi justru ia menantangnya dengan mengatakan :
أنا أحيى وأميت
(saya juga bisa menghidupkan dan mematikan).
Bagaimana ia sebagai manusia bisa menghidupkan dan mematikan? Orang kafir yang dikaruniai Allah kekuasaan itu mengatakan:” Bawalah kemari orang itu”! Lalu ia berkata: “Bunuhlah dia”! Tetapi sebelum eksekusi dilaksanakan, ia lalu berkata: “saya maafkan engkau”. Lalu ia menoleh kepada Ibrahim Alaihis-salam dengan mengaku dirinya bisa menghidupkan dan mematikan. Jadi, menurutnya, dengan mengeluarkan keputusan hukuman mati atas seseorang berarti la telah mematikannya, dan dengan mengampuninya berarti ia telah menghidupkannya kembali.
Demikianlah kenikmatan, kekuasaan dan harta kekayaan tidak menjadikan lelaki itu beriman dan berterima kasih kepada Allah SWT, tetapi membuatnya semakin ingkar dan kafir kepada-Nya (semoga Allah melindungi kita semua).
Ketika Ibrahim Alaihis-salam menantangnya dengan fenomena alam yang di luar jangkauan manusia, yaitu matahari seraya berkata kepadanya : Tuhanku bisa menerbitkan matahari dari arah timur, maka bisakah kamu memunculkannya dari arah barat? Seketika itu ia tercengang melihat fakta yang sebenarnya, karena dirinya tidak pernah menengok pada tanda-tanda kebesaran Allah di alam raya.
Allah SWT mengingatkan kita bahwa manusia manakala terpedaya oleh harta sehingga ia menjadikannya sebagai simbul kekuatan dan kewibawaan, dengan melupakan anugerah Allah yang mengaruniainya harta itu, maka dalam kondisi demikian ia menyimpang dan melampaui batas jalur
yang seharusnya, sehingga ia mengambil sesuatu hak yang bukan haknya sendiri. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman :
كلا إن الإنسان ليطغى ,أن رآه استغنى
(Janganlah begitu! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena ia melihat dirinya merasa tidak butuh). Qs AI’Alaq : 6-7
Harta benda bisa menyesatkan manusia dan membuatnya mengklaim bahwa dirinya bisa berbuat apa saja dengan kekuatan dari dalam dirinya sendiri Mengapa tidak? Bukankah ia mempunyai harta yang bisa ia gunakan untuk mewujudkan apa saja yang ia inginkan? Ketika itu, ia mengira bahwa dirinya tidak butuh lagi kepada pertolongan Tuhan, atau ridha-Nya maka jadilah ia melampaui batas dan terpedaya.
Barang kali kisah tentang Qarun dapat memperjelas kenyataan ini. Allah SWT memberi Qarun harta benda yang belum pernah Dia berikan kepada seorangpun di antara makhluk-Nya. Tetapi apakah karunia itu membuatnya sadar, lalu beriman dan bersyukur kepada Tuhan? Ataukah justru membuatnya terpedaya dengan mengklaim bahwa hartanya itu datang dari dirinya sendiri dan bahwa ia memperolehnya itu lantaran ilmu yang dimilikinya jan kekuatannya sendiri, bukan anugerah dari Tuhan. Al Qur’an menceritakan kepada kita prihal Qarun :
إن قارون كان من قوم موس فبغى عليهم وآتيناه من الكنوزما إن مفاتحاه لتنوء بالعصبة أولى القوة إذ قال له قومه لاتفرح إن الله لايحب الفرحين
(Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berbuat aniaya terhadap mereka. Kami telah anugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. Ingatlah ketika kaumnya berkata kepadanya : “Janganlah kamu terlalu membanggakan diri, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri’). Qs Al-Qashash : 76
Allah SWT menganugerahkan kepada Qarun harta yang bertumpuk-tumpuk yang belum pernah diberikan-Nya kepada siapapun hamba-Nya. Tetapi harta bendanya itu tidak membuatnya bersyukur kepada Tuhan yang memberi, bahkan menjadikannya terpedaya dan menindas manusia serta berbuat kerusakan di muka bumi. Ketika kaumnya mengingatkannya agar ia mengikuti aturan Tuhan dan menyadari tujuan diberikannya nikmat itu kepada dirinya, ia-pun menyanggah dengan kata-katanya yang congkak sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Quran:
قال إنما أوتيته على علم عندى
(Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang saya miliki”). Qs Al-Qashash: 78
Qarun menisbatkan harta bendanya kepada dirinya sendiri, ia melupakan anugerah Tuhan, ia berpikir bahwa dirinya tidak membutuhkan bantuan Tuhan lagi. Bagaimana Allah SWT membalas sikapnya yang ekstrim itu? Allah memberitakan kepada kita tentang nasib tragis orang yang congkak itu:
فخسفنا به وبداره الأرض فما كان له من فئة ينصرونه من دون الله وما كان من المنتصرين
{Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam perut bumi, maka tiada baginya suatu golonganpun yang bisa menolongnya dari azab Allah selain Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang yang dapat membela dirinya). Qs Al-Qashash : 81
Sesungguhnya harta dalam berbagai peristiwa memang sering menjadi bencana bagi pemiliknya.
Karena ketika seorang yang berharta itu dalam kondisi lemah imannya, timbullah perasaan dari dalam dirinya bahwa ia tidak membutuhkan lagi kepada pertolongan Allah SWT, bahkan ia kafir dan menisbatkan kesuksesan kepada dirinya sendiri. Sesudah itu ia mati meninggalkan seluruh harta bendanya untuk berjumpa seorang diri dengan Allah di akhirat tanpa disertai harta dan kekuasaannya, ketika itulah ia mendapatkan hukuman balasan sekeras-kerasnya atas sikap-sikapnya. Maka, jika demikian halnya, apakah harta bendanya itu merupakan kenikmatan ataukah bencana baginya?
Ketika manusia dalam kondisi kekurangan harta, biasanya ia merasa butuh kepada Allah, lalu ketika hartanyadatangberlimpah-limpah,iamenghancurkan kehidupannya dan kehidupan keluarganya, bahkan bisa jadi harta yang melimpah ruah itu mendorong anak-anaknya mengkonsumsi obat-obat terlarang atau melakukan perjudian atau ia terjangkit penyakit kronis yang tidak ada penyembuhnya, lantaran itulah ia terpaksa mengeluarkan ratusan ribu pound untuk membeli obat-obatan pahit, tetapi tetap tidak sembuh, la merintih kesakitan, dan terhalang dari segala kenikmatan hidup karena dilarang memakan makanan atau minuman yang menjadi keinginannya. La tidak bisa mengangkat sesuap makananpun ke mulutnya, tidak diperkenankan menikmati sepotong daging yang ia sukai. Jika ia mencoba memakannya, bertambahlah sakit yang dideritanya. Apakah ini yang namanya kebaikan ?.
Contoh-contoh ini maupun lainnya yang kita temukan dalam Al-Quran dan yang akan kita paparkan secara detail, mempertegas bahwa harta benda sebenarnya bukanlah merupakan kebaikan secara mutlak sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Seseorang yang harta bendanya berlimpah-limpah hari ini yang menghancurkan kehidupannya dan merampas kenyamanan waktunya serta mendatangkan kesengsaraan bagi dirinya dan anak-anaknya, besar kemungkinan suatu saat ia akan mengutuk harta bendanya sendiri.
Itulah hukuman duniawinya. Maka, selama seseorang tidak mempedulikan Allah dalam urusan hartanya, Allah-pun tidak mempedulikannya dalam urusan harta itu, bahkan Allah menguasakan harta benda itu atas diri pemiliknya hingga menyeretnya ke neraka Jahanam (semoga Allah melindungi kita semua)
Sumber : Terj. Al Khoir wa Syar
karya As-Syeikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi