Memulai kehidupannya, ketika bayi dilahirkan, pertama kali ia dilahirkan dalam keadaan suci sebagai manusia yang tunduk kepada kebenaran (muslim). Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda :
كل مولديولدعلى الفطرة مسلماوأهله ينصَرانه أو يمجَسانه
(Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci sebagai manusia yang berserah diri. Maka keluarganya yang membuatnya memeluk nasrani atau majusi).
Setiap bayi yang datang ke dunia ini, ketika ia datang pasti dalam kesucian [Fitrah), ia berada dalam kemurnian agama Allah, kemudian datanglah perusakan dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari keluarganya yang mengubahnya dari agama kesucian yang merupakan dasar penciptaannya menjadi penganut agama yang mereka peluk.
Ini membuktikan keindahan di alam raya yang diberikan oleh Allah melalui setiap anak manusia yang lahir dalam kondisi suci, yakni dalam keadaan Islam. Dan dalam waktu yang sama menunjukkan atas perusakan oteh manusia terhadap keindahan ini.
Sesungguhnya setiap anak manusia yang dibesarkan dengan keindahan pemberian Allah yang ada padanya itu, tidak mengenal dusta, kemunafikan dan pencurian serta apapun macam keburukan, akan tetapi kedua orang tuanya yang mengajarkannya segala macam keburukan, la diciptakan di atas keindahan fitrah, jujur ucapannya, indah perasaannya, bersih dan suci jiwanya.
Kita tidak pernah mendengar anak manusia yang lahir sebagai pendusta dari bawaan. Kita tidak pernah melihat anak manusia yang lahir sebagai pencuri dari bawaan. Kita tidak pernah menyaksikan anak manusia yang lahir sebagai orang munafik dari bawaan. Tetapi keburukan-keburukan itu datang kemudian setelah ia mendapatkan pengajaran dari orangtuanya, kaum kerabatnya dan kawan-kawannya. Jadi, semua makhluk di alam raya ini menurut dasar penciptaannya adalah baik, hanya karena campur tangan manusialah ia menjadi rusak.
Setelah anak menjadi besar, ia pergi ke sekolah. Orang tua yang seharusnya mengajarkan kepadanya bahwa berusaha adalah dasar kelulusan, dan untuk mencapai kelulusan itu anak harus menelaah pelajarannya, tetapi justru orang tua menggunakan siasat yang tidak baik agar anaknya bisa lulus tanpa harus menelaah pelajarannya. Yakni cukup dengan mendapatkan soal-soal ujian dari para guru lewat bimbingan-bimbingan belajar, atau dengan cara menyuap, atau dengan menggunakan pengaruhnya. Maka, dengan campur tangan seperti itu berarti orang tua tersebut telah ikut merusak keindahan di alam raya ini.
Bagaiman bisa demikian ? Sebab, kalau seorang murid bisa lulus tanpa belajar, apakah ia mau belajar setelah itu ? Tentu tidak. Karena, selama ia bisa lulus tanpa berusaha, lalu untuk apa ia melelahkan diri?
Fenomena yang kita lihat akhir-akhir ini seputar upaya sebagian guru menjual soal-soal ujian, atau memberikan soal-soal ujian kepada murid melalui
kursus-kursus dan lain-lain, sesungguhnya merupakan upaya merusak keindahan di alam raya ini.
Hal itulah yang menyebabkan anak didik terbiasa malas menelaah pelajaran-pelajarannya dalam memperoleh kelulusan. Mereka tidak belajar sungguh-sungguh sehingga jenjang pendidikannya berakhir ia tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Akibatnya seluruh masyarakatlah yang tertimpa malapetaka.
Allah SWT menyuruh kita memakmurkan bumi. Maka agar kita dapat melaksanakan tugas itu, kita dibekali akal pikiran untuk mewarisi peradaban dan mengembangkannya. Dengan akal pikiran, Allah mengistimewakan manusia dari binatang. Itulah sebabnya, binatang hidup primitif sejak awal mula ia diciptakan.
Kita tidak pernah mendengar ada sekelompok binatang yang mengadakan rapat membahas bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kehidupannya, dan bagaimana cara membangun kandang yang dilengkapi mesin pendingin umpamanya.
Kita belum pernah melihat ada seekor binatang yang mengungguli ayahnya atau kakeknya dalam ilmu pengetahuan, sehingga ia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pendahulu-pendahulunya dan dapat meraih pencapaian-pencapaian dalam kehidupannya. Semua itu tidak pernah terjadi pada binatang cukup dengan logika sederhana saja, yaitu ia tidak mempunyai keahlian berkembang.
Sumber : Terj. Al Khoir wa Syar
karya As Syeikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi