HUKUM FIQH UDH HIYAH/QURBAN
(Catatan Dzulhijah dari Al Habib Ahmad bin Novel bin Jindan)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و الصلاة و السلام على سيدنا محمد و آله و صحبه و التابعين أما بعد
KEUTAMAAN DZULHIJAH
Hari-hari di sepuluh Dzulhijjah merupakan hari-hari yang berkah dan mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hari yang dipenuhi anugerah dan karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al Qur’an :
وَ الفَجْرِ . وَ لَيَالٍ عَشْرٍ
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah, “Demi waktu fajar dan demi malam-malam yang sepuluh”.
Ahli tafsir dalam hal ini memiliki pendapat dan banyak dari mereka yang berpendapat, sebagaimana Al Imam As Suyuti di dalam tafsirnya yang berjudul Ad Durr Al Mantsur menyebutkan pendapat-pendapat para ahli tafsir yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 10 (sepuluh) malam-malam tersebut adalah 10 (sepuluh) malam dari bulan Dzul Hijjah. Secara lebih jelas, hari yang dimaksud tersebut ada di awal Dzul Hijjah yakni sejak awal malam pertama bulan Dzul Hijjah sampai malam ke sepuluh atau malam takbir di malam hari raya Idul Adha. Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan keagungan-Nya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan bersumpah melainkan dengan sesuatu yang agung di sisi-Nya.
.و الفجر
“Demi waktu fajar”.
Ulama berpendapat bahwa fajar tersebut dapat dimaksudkan dengan fajar secara umum. Fajar adalah waktu yang penuh keberkahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun banyak pendapat ahli tafsir yang menyatakan bahwa Fajar dalam ayat ini dikhususkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk waktu fajar pada hari Arafah. Pendapat lain juga mengatakan bahwa fajar yang dimaksud adalah pada hari Idul Adha. Hari Idul Adha ataupun hari Arafah merupakan hari yang berkah yang dimuliakan dengan terbit fajar rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, fajar keberkahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, fajar karunia yang besar dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan semua itu ada di 10 (sepuluh) pertama Dzulhijah yang sangat diagungkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Segala amal ibadah yang dilakukan seorang hamba pada masa tersebut akan mendapat keberkahan dan pahala berlipat karena karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Semua hamba yang berada di tanah suci atau pun tidak, akan mendapat keberkahan dan karunia-Nya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menganjurkan agar kita bisa memakmurkan waktu-waktu kita sebagaimana bulan suci Ramadhan dimakmurkan dengan ibadah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika ada ketaatan, amal ibadah yang ingin dilakukan maka segerakanlah untuk melakukannya.
PUASA ARAFAH
Para ulama mengatakan dan mengajarkan keutaaman berpuasa pada awal bulan, tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah karena pahala yang besar, atau minimal pada tanggal 9 Dzulhijjah. Bulan Dzul Hijjah adalah salah satu dari bulan-bulan Al hurum, dan di bulan-bulan Al Hurum disunnahkan untuk berpuasa. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud:
عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة و قد تغيرت حالته و هيئته فقال: يا رسول الله أما تعرفني؟ قال: و من أنت؟ قال : أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول. قال: فما غيرك و قد كنت حسن الهيئة. قال: ما أكلت طعاما منذ فارقتك إلا بليل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عذبت نفسك. ثم قال: صم شهر الصبر و يوما من كل شهر. قال: زدني. قال: صم من الحرم و اترك صم من الحرم و اترك صم من الحرم و اترك. و قال بأصابعه الثلاث فضمها ثم أرسلها. رواه أبو داود بإسناد حسن.[1
Dari Mujibah Al Bahilyah dari ayahnya atau pamannya, bahwasanya dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam kemudian dia pergi. Maka dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam satu tahun kemudian sedang keadaannya telah berubah, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengenalku?” “Siapa kamu?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam. dia menjawab: “Aku adalah Al Bahili yang mendatangimu tahun lalu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam bertanya: “Lantas apa yang membuat fisikmu berubah?”. Al Bahili menjawab: “Aku tidak memakan makanan sejak berpisah denganmu kecuali di malam hari”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam berkata: “Engkau telah menyiksa dirimu sendiri. Berpuasalah di bulan kesabaran (Ramadhan) dan sehari setiap bulan”. Al Bahili berkata: “Tambahkan lagi untukku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam menambahkan: “Berpuasalah di bulan Al Hurum dan tinggalkan, Berpuasalah di bulan Al Hurum dan tinggalkan, Berpuasalah di bulan Al Hurum dan tinggalkan.” Beliau isyaratkan dengan jari tangannya yang digenggamkan kemudian diulurkan tiga kali.
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam:
ما من أيام أفضل عند الله و لا العمل فيهن أحب إلى الله عز و جل من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل و التكبير و ذكر الله فإنها أيام التهليل و التكبير و ذكر الله و إن صيام يوم منها يعدل سنة و العمل فيهن يضاعف سبعمائة ضعف.[2
“Tidak ada hari yang lebih afdhol di sisi Allah dan tidak hari dimana amal ibadah disukai oleh Allah untuk dilakukan di hari tersebut sebagaimana hari-hari sepuluh ini (bulan Dzul Hijjah). Maka itu perbanyaklah oleh kalian dari tahlil, takbir dan dzikir kepada Allah karena hari-hari sepuluh tersebut adalah hari-hari tahlil, takbir dan dzikir kepada Allah dan sesungguhnya puasa satu hari darinya menyamai satu tahun dan amal ibadah dilipat gandakan menjadi tujuh ratus kali lipat”.
Sebagaimana di hari Arafah disunnahkan pula untuk berpuasa. Dalam sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim:
عن قتادة رضي الله عنه قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم عرفة قال: يكفر السنة الماضية و الباقية.
Dari Qotadah Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ditanya oleh para sahabatnya tentang puasa di hari Arafah, maka beliau mengatakan bahwasanya puasa di hari Arafah (atau ditanggal 9 bulan Dzulhijah) itu mengampuni dosa dua tahun, tahun yang lalu dan tahun berikutnya.
Jika puasa di hari Asyura mengampuni dosa satu tahun, maka puasa dihari Arafah mengampuni dosa dua tahun ; dosa yang terdahulu satu tahun dan dosa satu tahun yang akan datang. Ulama mengatakan di dalam hadits ini terdapat kabar gembira dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Pertama, kabar gembira bagi orang yang berpuasa ditanggal sembilan adalah pengampunan dosanya untuk dua tahun yakni tahun yang lalu dan tahun yang akan datang. Kedua, selain diampuni dosanya selama dua tahun, hamba tersebut akan panjang umur dan bertemu hari Arafah tahun depan, karena pengampunan tersebut tentunya akan diberikan kepada orang yang masih hidup. Hadist ini memberikan gembira bagi yang berpuasa bahwasanya hamba tersebut akan panjang umur sampai menjumpai hari Arafah tahun berikutnya. Oleh karenanya sangat dianjurkan berpuasa untuk mendapat pengampunan Allah dan umur panjang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala di tanggal tersebut.
IBADAH QURBAN
Selain berpuasa, kita juga dianjurkan untuk berqurban atau Udh hiyah. Qurban adalah ibadah yang disukai, dicintai, dan diganjar dengan pahala besar oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:
ما عمل أدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إراقة الدم
“Seorang anak adam tidak melakukan suatu amal ibadah di hari raya Idul Adha yang lebih disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada berqurban”.
Rasul Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menambahkan di dalam hadits:
و إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها و أشعارها و أظلافها
“Kelak qurban yang disembelih seseorang di hari raya, akan datang di hari kiamat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala lengkap dengan tanduknya dengan bulunya dengan kukunya,
Tidak ada yang kurang sedikitpun untuk menjadi saksi di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan bisa memasukin orang ini kedalam surga-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menambahkan bahwa qurban yang disembelih oleh seseorang dapat menyampaikannya kepada keridhoan-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Qurban dapat menempatkan orang tersebut kepada derajat yang tinggi disisi Allah dengan waktu yang sangat cepat, bahkan Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menambahkan sebelum darah menyentuh tanah ini qurban telah membawa orang tersebut kepada derajat yang tinggi disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
و إن الدم ليقع من الله بمكانة قبل أن يقع من الأرض
“Dan sesungguhnya darahnya itu akan membawa pemiliknya naik kepada derajat yang tinggi di sisi Allah sebelum darah itu menyentuh tanah.”
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengatakan
فطيبوا بها نفسا
“Maka Bahagiakan diri kalian dengan qurban yang bagus”.
Al Imam Asy Syairazi dalam kitab Al Muhadzdzab beliau menyebutkan tentang sunnatul udhiyah, bahwasanya udhiyah atau qurban hukumnya Sunnah Mu’akadah, sunnah yang sangat diperhatikan dan sangat dianjurkan oleh agama untuk dilakukan oleh setiap individu muslim yang memiliki kemampuan. Al imam Abdul wahab As Sya’raniy di dalam sebuah kitabnya menyebutkan hikmah Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan menganjurkan kepada kita untuk berqurban di hari raya. Qurban yang kita sembelih akan membentengi kita selama setahun penuh dari segala bala musibah bahkan akan membentengi keluarga orang tersebut dari segala bala dan musibah dan menjadi penyebab mendapat pengampuanan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Para fuqoha diantaranya Al Imam Asy Syairazi mengatakan sunnah mu’akadah untuk setiap individu yang mempunyai kemampuan. Jika tidak mempunyai kemampuan untuk menyembelih qurban, maka minimal setiap satu rumah ada yang menyembelih qurban untuk melindungi penghuni rumah tersebut dari segala bala dan musibah dan agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dari Anas ibnu Malik Radhiallahu ta’ala anhu ardhoh beliau mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يضح بكبشين
“Dahulu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berqurban di hari raya dengan dua ekor kambing.”
Anas bin Malik mengatakan “Dan akupun berqurban dengan dua ekor kambing”.
WAKTU QURBAN
Para ulama mengatakan qurban adalah minimal satu ekor kambing. Waktunya adalah setelah dilaksanakan shalat idul adha dan kedua khutbahnya. Dan jika dilakukan sebelumnya maka tidak dihitung sebagai qurban. Sebagai contoh, seseorang yang memotong kambing setelah shalat subuh untuk dibagikan kepada faqir miskin adalah boleh tetapi tidak dihitung sebagai pahala Udh hiyah.
Para fuqoha mengatakan sangat dianjurkan ketika dilaksanakan shalat Idul Fitri agar diulur waktu pelaksanaannya, sebab hari raya Idul Fitri terikat dengan zakat fitrah dan waktu utama untuk menunaikan zakat fitrah adalah sebelum dilaksanakan shalat Idul Fitri. Berbeda halnya dengan shalat Idul Adha yang dianjurkan dilakukan lebih awal karena akan dilaksanakan penyembelihan Udh hiyah. Dan Udh hiyah dilaksanakan setelah shalat Idul Adha sehingga masa untuk berqurban menjadi lebih panjang. Sebagai contoh, di Kwitang, Guru besar umat islam Al Habib Ali bin Abdurahman Al habsyi, sejak zaman hingga saat ini di masjid Ar Riyyad kwitang, pelaksanaan shalat Idul Fitri dimulai jam delapan pagi dan untuk pelaksanaan shalat Idul Adha dimulai jam tujuh pagi. Tujuannya adalah agar orang yang ingin berzakat fitrah bisa memiliki waktu yang lebih panjang di hari Idul Fitri, dan orang yang berqurban memiliki waktu yang lebih panjang di hari Idul Adha.
Dan waktu berqurban terus berlanjut hingga terbenam matahari tanggal 13 Dzul Hijjah.
BEBERAPA ATURAN DAN SUNNAH BERQURBAN
Hal yang perlu diperhatikan dalam urutan memilih qurban yang lebih afdhal adalah sebagai berikut :
Pertama. Hewan yang disembelih adalah unta atau sapi atau kambing. Untuk wilayah Indonesia yang tidak ada unta, maka yang baik adalah sapi, kambing, atau kerbau, dan umumnya adalah sapi dan kambing. Al Imam Asy Syairazi dalam kitab Al Muhadzdzab beliau menyebutkan bahwa qurban sapi untuk 1 orang adalah lebih afdhal (utama) daripada qurban sapi untuk 7 orang. Namun jika qurban sapi dijadikan untuk 7 orang maka qurban 1 kambing untuk 1 orang adalah lebih afdhal (utama). Untuk qurban selain hewan di atas (yaitu unta, sapi/kerbau dan kambing) hukumnya tidak sah.
Kedua. Hewan yang akan disembelih tidak boleh cacat berupa cacat yang mengurangi daging. Jika cacat tersebut mengurangi daging maka qurban tidak sah. Penjual qurban juga hendaknya menjual hewan-hewan qurban yang sehat dan tidak cacat.
Kemudian diantara hal yang disunnahkan bagi yang ingin berqurban adalah sebagaimana yang tersebut di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam muslim, dari Umul Mukminin Sayidatina Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:
من كان عنده ذبح يريد أن يذبحه فرأى هلال ذي الحجة فلا يمس من شعره و لا من أظفاره شيئا حتى يضحي
“Barang siapa yang memiliki hewan qurban yang ingin dia qurbankan di hari raya maka apabila setelah masuk hari pertama bulan Dzulhijah hendaknya dia tidak memotong kukunya atau rambutnya hingga selesai dia menyembelih qurbannya di hari raya.”
Demikian sunnah dari Rasulullah dan hal tersebut bukan hal yang wajib. Hikmah dari sunnah ini adalah agar rahmat dan pengampunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengalir kepada rambut dan kuku dan seluruh anggota badan karena begitu besarnya karunia dan anugerah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Diantara perkara yang disunnahkan adalah bahwa hewan qurban disunnahkan untuk disembelih sendiri oleh orang yang berqurban. Jika tidak bisa, dapat diwakilkan oleh tukang potong atau orang yang lebih ahli. Diriwayatkan bahwa dari 100 ekor unta milik Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang ketika itu beliau berada di tanah suci, 63 ekor unta disembelih sendiri dengan tangan suci Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Pekerjaan yang cukup berat tersebut dilakukan sendiri oleh rasulullah dan 27 ekor lainnya dilanjutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Kejadian ini menujukan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah seseorang yang mempunyai fisik yang kuat, tidak lemah dan penuh semangat. Karena pekerjaan memotong 1 hewan qurban cukup berat, terlebih jika menyembelih 63 ekor qurban. Dan di sinilah kisah yang melegenda, yaitu unta- unta tersebut berebut ingin lebih dahulu disembelih oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Hewan-hewan tersebut berebut ingin mendapat keberkahan dan kemuliaan karena disembelih melalui tangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Sungguh beruntung 63 hewan tersebut, sedangkan 27 sisanya mendapat keberkahan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu yang ditugaskan mewakili Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Peristiwa ini memberikan pelajaran dan anjuran agar hewan qurban disembelih sendiri oleh orang yang berqurban dan boleh diwakili jika ia tidak mampu. Apabila diwakilkan maka dianjurkan bagi orang yang berqurban tersebut agar menyaksikan hewan qurbannya ketika disembelih. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Imam Al Baihaqi sebagaimana diceritakan oleh Sahabat Abu Said Al Khudriy Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengatakan kepada Sayyidatina Fathimah puteri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasallam:
“Wahai Fathimah bangun kepada udh hiyahmu, saksikanlah qurbanmu, karena sesungguhnya dari sejak pertama tetesan darahnya yang menyentuh bumi seluruh dosa-dosamu sudah diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Sungguh nikmat orang yang mampu berudh hiyah. Berqurbanlah bagi orang yang punya kemampuan berqurban dan jangan pelit karena pahalanya sangat besar, keuntungan dunia akhirat, dan terjaga dari musibah. Dalam hadits disebutkan:
عظموا ضحاياكم فإنها على الصراط مطاياكم
“Besarkan qurban kalian karena sesungguhnya qurban kalian itu di atas sirath (jembatan yang dibentangkan Allah diatas api neraka) adalah tunggangan kalian”.
HUKUM MEMAKAN HEWAN QURBAN (NAZAR/SUNNAH)
Ada dua pembagian hukum terkait boleh tidaknya memakan hewan qurban.
Pertama adalah qurban yang fardhu misalnya sebuah qurban nazar, maka daging qurban seluruhnya wajib dibagikan kepada fakir miskin.
Kedua jika qurban tersebut adalah qurban yang sunnah, maka daging qurban tersebut sebagiannya wajib dibagikan kepada fakir miskin, dan sisanya boleh dimakan oleh orang yang berqurban dengan qurban sunnah ini.
Bagian yang harus diberikan kepada fakir miskin adalah daging dan bukan lemak, kulit atau tulang.
Derajat afdholiyah (keutamaan) untuk memakan qurban sunnah adalah sebagai berikut: Derajat pertama, orang yang berqurban memakan daging qurbanya sedikit dan sisanya dibagikan ke fakir miskin. Derajat kedua, orang yang berqurban memakan sepertiga bagian, sepertiga bagian lainnya dibagikan kepada fakir miskin, dan sepertiga sisanya dihadiahkankan kepada siapapun sekalipun kepada orang kaya.
PEMBAGIAN DAGING QURBAN DAN UPAH POTONG
Daging qurban tidak boleh diberikan kepada orang non muslim (baik qurban nazar atau sunnah). Qurban hanya boleh diberikan kepada orang-orang islam karena qurban adalah jamuan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hari raya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Jika ada orang non muslim yang ingin diberi maka tidak boleh dari daging qurban tersebut dan bisa dibelikan daging bukan qurban di pasar untuk diberikan kepada orang non muslim tersebut.
Salah satu hal yang harus diluruskan adalah ketika berqurban, adalah tidak boleh menjadikan daging qurban, kulit, kepala, kaki, atau bagian apapun dari hewan qurban sebagai upah untuk orang yang telah menyembelih (tukang potong). Orang yang menyembelih (tukang potong) boleh menerima bagian hewan tetapi tidak boleh menjadi upah (dianggap sebagai upah). Bagian hewan tersebut adalah sama seperti bagian untuk kaum muslimin. Tukang potong boleh menerima upah dengan hal-hal yang disepakati misalnya uang atau beras atau hal lain selain bagian hewan qurban.
***
[1] Status dan derajat kekuatan hadits ini disebut secara terperinci dalam kitab At Ta’riif Bi Awhaam karya Al Muhaddits Asy Syeikh Mahmud Said Mamduh jilid 5 hal 495-498.
[2] Berkata Al Hafidz Ad Dimyathi dalam kitabnya Al Matjar Ar Rabih Hal 211 tentang sanad Al Baihaqi ini bahwa sanadnya La Ba’sa bihi (tidak ada keburukan). Status dan derajat kekuatan hadits ini disebut secara terperinci dalam kitab At Ta’riif Bi Awhaam karya Al Muhaddits Asy Syeikh Mahmud Said Mamduh jilid 5 hal 515-517.