Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah washalallah wasaalam ‘ala Rasulillah Muhammad ibni Abdillah wa‘ala alihi washahbihi waman walah, amma ba’du.
Disebutkan oleh Al-Imam Asy-Sya’rani tentang hak persaudaraan yang harus ditunaikan oleh seseorang. Diantaranya adalah apabila saudara kita sakit, maka hendaknya kita menjenguk dan merawatnya. Menjenguk orang sakit sebaiknya jangan terlalu lama dan ada adab yang perlu diperhatikan. Di antara adab adalah jangan terlalu lama disitu, sebab orang yang sakit, dia merasa harus at-tahapput jika sedang dijenguk. At-tahapput artinya harus menjaga penampilannya untuk orang dan ini berat untuk orang yang sedang sakit. Harus memaksakan senyum, mengurus tamu atau orang yang menjenguknya, sedangkan dia menahan rasa sakit, maka hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang berat. Karena itu diantara adab ketika menjenguk orang sakit jika kita menjenguknya janganlah terlalu lama, cukup datang dan menanyakan keadaan, kecuali jika dia yang meminta untuk duduk lama. Jika tidak, cukup menyakan keadaan, membantu semampunya, kemudian do’akan dan pamit.
Ketika menjenguk orang sakit janganlah makan didepannya, karena terkadang orang yang sakit itu tidak bisa makan apa-apa. Jika ingin makan maka makanlah di belakang dia. Satu hal yang bagus saat kita datang menjenguk seseorang yang sakit adalah membawa buah-buahan. Terkadang seseorang yang sakit tidak boleh makan apapun kecuali yang telah ditentukan dokter. Jadi buah-buahan atau apapun yang kita bawa adalah untuk orang-orang yang ikut merawat dan menunggunya. Lalu apa yang bisa kita berikan kepada yang sakit?. Diantara yang bisa kita beri adalah uang, karena seseorang yang sakit dan di rawat di rumah sakit akan membutuhkan banyak uang untuk biaya perawatan dan lain-lainya selama dia berada di rumah sakit. Ada riwayat yang menyebutkan, “obati orang sakit di antara kalian dengan sedekah”. Habib Mahsyur bin Salim bin Hafidz berkata hadist ini mengandung arti yaitu memberikan sedekah dan rasa sakit, Insya Allah akan diangkat oleh Allah Subhanahu wata’ala. Alhadist menyebutkan “Alijumardaqum bisshadaqah..ya bisshadaqah anhu bisshadaqah lahu”. Obati yang sakit diantara kalian dengan bersedekah mewakili dia, kita sedekah kepada orang fakir miskin mewakili dia supaya niat sembuh atau bersedeqah kepadanya. Hal itu insyaAllah mujarab.
Seperti yang disebutkan di atas tadi, diantara adabnya menjenguk yang sakit yaitu jangan terlalu lama, kecuali jika memang orang yang sakit ini merasa tentram jika ditemani, maka dalam hal ini pengecualian atas permintaan dia, boleh duduk lama. Dalam hal ini, Asy-syara agama mengizinkan pada seseorang untuk meninggalkan shalat jum’at dan jamaah demi untuk menemani orang yang sakit. Tamridul maridh, mengurusnya, menghiburnya bahkan shalat jum’at boleh ditinggalkan deminya.
Diantara hak persaudaraan lainnya, apabila kelihatan saudara kita yang sakit ada tanda-tanda akan meninggal, ingatkan kepadanya untuk membuat wasiat agar tidak terjadi perselisihan nanti oleh anak keturunannya dalam hal waris dan yang lainnya. Ketika seseorang sudah merasa sahabatnya sudah di pintu kematian, dia yang mengingatkan untuk menulis wasiat. Jika tidak dengan tulisan maka dengan lisan. Isi wasiat antara lain pesan agar di talqinkan dan pesan catatan hutang (apabila punya hutang). Ala fil hadist: Yunfaru lissyahid kullu dzanbin illa dzi’. Orang yang mati syahid pun diampuni semua dosanya oleh Allah kecuali hutang.
Orang yang meninggal dengan hutang maka masih tergantung antara langit dan bumi, tidak masuk syurga hingga dia membayar hutangnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak mau mensholatkan sahabatnya yang belum membayar hutang. Penting untuk mencatat hutang dan berpesan kepada teman atau keluarga perihal catatan hutang. Jika meninggal dan masih ada warisan maka wajib hutang dibayar dari warisan tersebut untuk melunasi. Hutang orang lain (piutang) juga perlu dicatat dan akan menjadi hak ahli waris dari orang yang meninggal. Ada bukti melalui catatan pesan. Hal ini harus diperhatikan dalam maksiat hutang.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam wasiat adalah pernikahan dan anak. Dengan siapa menikah, dimana, dan berapa anak. Hal ini penting bagi seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu. Hal ini harus dicatat sebab jika seseorang wafat, seorang istri yang masih ada ikatan pernikahan, berhak mendapat harta waris, dan merupakan mahram dari anak-anak si mayyit dari istri yang pertama atau istri lainnya. Istri dan anak-anak memiliki hak waris. Jika semasa hidup tidak diketahui, sebelum meninggal harus diketahui kabar istri-istri dan anak-anaknya (jika istri lebih dari satu). Hal ini tidak boleh sembarangan dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Apabila kesulitan mencari jawaban, seorang anak bisa bertanya kepada sahabat ayah. Inilah hak persaudaraan antara sahabat dengan sahabatnya. Seseorang bisa bercerita kepada sahabatnya walaupun terkadang dia tidak bisa bercerita secara jujur kepada isteri dan anaknya.
Diantara hak persaudaraan lainnya adalah apabila sakitnya sudah keras dan sekarat, maka dianjurkan untuk menemaninya sampai meninggal dunia. Sampai akhir hayat hak persaudaraan tetap ditunaikan. Hal lainnya adalah jangan sekali-kali mengingkari nasab dari saudarakita. Tidak boleh mengingkari sahabat dalam nasabnya. “annas mu’tamanun fi ansabihim”. Setiap orang dipercaya atas nasabnya masing-masing. Kita harus mempercayai nasab dari saudara kita, adapun jika dia berdusta maka hal tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, apabila dusta. Apabila kenyataannya dia berdusta maka akan dilaknat oleh Allah SWT. Tetapi hal itu bukan urusan kita karena Rasulullah bersabda: annas mu’tamanun fi ansabihim. Tiap orang terpercaya di dalam nasabnya.
Diantara hak persaudaraan lainnya adalah larangan mengkafirkan saudara kita atas suatu dosa yang dia lakukan. Pembahasan ini memang khusus kepada saudara yang kita menjalin hubungan dengannya karena Allah. Masalah mengkafirkan orang sudah menjamur. Dulu, penyakit mengkafirkan orang adalah penyakitnya kelompok mu’tadi’ah, orang-orang ahli bid’ah yang gemar mengkafirkan orang. Sangat disayangkan, sekarangpun kita gemar mengkafirkan orang. Kita tertular dengan ahli bid’ah yang mengkafirkan orang, padahal dulu ini hanya penyakit ahli bid’ah, mengkafirkan orang yang gemar tawassul, mengkafirkan orang yang ziarah kubur, itu penyakit mereka. Sekarang pun kita dengan mudah mengkafirkan orang lain. Berbeda aliran sedikit, menuduh kafir. Dalam sebuah riwayat, “man kaffara mu’minat fa kad kaffar”. Orang yang mengkafirkan seorang mukmin maka dia yang kafir. Tidak boleh orang mengkafirkan orang atau kelompok lain. Hal tersebut adalah salah satu perkara yang berat dalam agama. wallahu ‘alam bishshawab.
Disarikan dari Kajian Kitab AlMukhtar Minal Anwar Fii Sohbatil Akhyar oleh Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan
الحمدلله…