Ceramah Al Imam Al Musnid Al Allamah Al Arifbillah Habib Umar bin Hafidz
PERAYAAN HARI ASYURO di AL-FACHRIYAH, 16 November 2014
Sebuah musibah dikatakan besar manakala seseorang yang ditimpa bencana namun dia tidak merujuk dan tidak mau kembali kepada Allah. Padahal, maksud dan tujuan yang sebenarnya dari turunnya musibah adalah untuk memperbaiki rujuk dan kembali kepada Allah ta’ala. Allah berfirman, “Jika saja ketika mereka mendapatkan bala, bencana, musibah dari kami, mereka segera merujuk dan bertabaruk kepada Allah. Namun hati mereka telah beku dan setan menipu mereka dengan cara menghiasi amalan buruk mereka.”
Ketika Nabi Muhammad saw ditimpa suatu masalah, beliau segera bangun dan merujuk untuk mengerjakan sholat. Berbeda dengan sebagian dari orang ketika terkena musibah, mereka tidak mau merujuk kepada sholat, kepada qiro’at, bacaan Quran ataupun zikir, tidak merujuk kepada bersedekah di jalan Allah, berpuasa, ataupun berziarah kepada wali Allah. Mereka justru berkata ucapan-ucapan yg tidak berguna, kemudian merencanakan berbagai perencanaan. Mereka pergi kesana kemari untuk mencari pertolongan. Inilah makna dari firman Allah bahwa hati mereka sudahlah beku. Dan setan memberikan hiasan atas amalan buruk mereka seolah itu indah, yang mana sesungguhnya amalan itu adalah buruk. Dengan tipuan hiasan setan, mereka tertipu, mengira perbuatan mereka baik, padahal sama sekali tidak baik. Namun hal itu dibagus-baguskan oleh setan. Demikian juga nafsu mereka telah membantu setan dengan membenarkan ucapan dan pengaruhnya, padahal nafsu tersebut belum tersucikan, belum terdidik, belum terbina, dan belum diserahkan kepada orang-orang yang bisa mendidik dan membinanya. Keadaan mereka seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran, “Jangan engkau mengikuti orang-orang yang hatinya telah kami lalaikan, yang mengikuti hawa nafusnya, dan perkara orang tersebut akan menjadi sia-sia dan terbengkalai.” Ini adalah bimbingan dari Allah terhadap kita, janganlah kita terbuai dan tertipu dengan pendapat, pandangan, dan perkiraan-perkiraan yang melanda diri dari orang yang lupa kepada Allah. Jangan taati orang yang hatinya telah lupa kepada Allah.
Jika membutuhkan sebuah pendapat, musyawarah ataupun penjelasan, maka bertanyalah kepada orang-orang yang hatinya penuh dengan berdzikir kepada Allah. Sayidina Umar bin Khatab Ra menuliskan surat kepada gubernur-gubernurnya yang berisikan, “Carilah orang-orang yang mengenal takut kepada Allah dan banyak berdzikir kepada Allah dan lidahnya terjaga dari selain dzikir. Maka ambillah musyawarah dan pendapat dari mereka.” Allah berfirman dalam Al-Quran, “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang shodikin.”
Banyak di antara manusia yang hidup dalam keadaan meninggalkan kewajiban-kewajiban syariat, sibuk mengerjakan perbuatan yang diharamkan dalam agama dan hatinya diliputi kegelapan dan keraguan. Namun ada sebagian orang di saat yang sama berada dalam majelis dzikir, ingat kepada Allah. Berada dalam perkumpulan yang baik, saling mewasiati akan kebenaran dan mencari keridhoan Allah dengan bersalawat kepada Nabi muhammad, dan juga mempelajari hukum-hukum syariatnya. Siapa gerangan yang membawa mereka hadir ke majlis dzikir? Siapa yang memberikan taufik untuk hadir di majlis dzikir? Sesungguhnya dia adalah Allah. Sungguh Allah ta’ala telah memperlakukan hambaNya dengan sangat baik, telah membentangkan anugerahNya, dan juga telah melimpahkan pemberianNya kepada hamba-hambaNya. Maka hendaknya kita bersyukur bahwa tuhan kita adalah Allah, juga mengenal akan keagungan Allah. Sesungguhnya Allah telah memperlakukan dengan hal yang demikian padahal Allah tidak memiliki keperluan atas kita. Sesungguhnya manusialah yang memiliki keperluan kepada Allah. Jika Allah ingin menghancurkan dan membinasakan kita maka tidaklah Allah akan merasa rugi.
Nabi Muhammad mendengar dari sebagian sahabatnya berkata, “Aku meminta kepadamu untuk disempurnakan nikmat ini.” Nabi berkata kepada sahabat tersebut, “Tahukah kau apa nikmat yang sempurna?.” Sahabatpun bertanya kembali, “Apa gerangan itu ya Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Masuk ke dalam surga, melalui segala kesulitan hingga masuk dan menetap di dalam surga.”
Kita berharap semoga Allah ta’ala memasukkan kita ke dalam surganya tanpa azab, tanpa hisab, juga tanpa uji, serta tanpa perhitungan. Allah cegah dan jauhkan rumah, keluarga, kerabat dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan kita dari fitnah. Dijadikan kemauan kita mengikuti syariat nabi Muhammad, sehingga kita tidak lalai akan keagungan syariat ini. Janganlah lalai untuk ta’zim dan mengagungkan setiap sunnah dari sunnah nabi Muhammad, sehingga rumah kita menjadi tempat/gudang dari sunnah nabi Muhammad, dan tempat dari akhlak nabi Muhammad sehingga kerajaan Nabi Muhammad berdiri di dalam rumah dan keluarga kita. Menegakkan syariat dalam rumah tangga. Sesungguhnya segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad itu adalah musuh dan fitnah. Maka jangan sekali-kali dengarkan perkataan orang yang lalai dan lupa kepada Allah yang berusaha menghiasi kepada kita hal-hal yang buruk. Sesungguhnya itu tidak ada yang dapat menolong kita. Tidak ada yang memberikan syafa’at (nabi) dan hidayah diantara orang-orang yang lalai. Namun utusan dan rasul dari sisi Allah nabi kita Muhammad SAW adalah pemberi hidayah dan nasihat. Sang pemberi syafa’at adalah nabi kita Muhammad. Namun bagaimana kita rela membiarkan orang-orang lalai tersebut ingin menggeser nabi Muhammad dengan menanamkan pola pikir dan pengaruh yang ingin mereka tanamkan dalam pikiran kita, dan di dalam akal-akal yang telah hilang cahayanya.
Apakah diantara mereka ada yang berani berucap di hari kiamat? Mereka yang akan berucap, “Andai kami berakal dan mendengar, maka kami tidak akan masuk ke dalam api neraka.” Itulah perkataan orang jahat. Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid berkata di dalam ucapannya kepada Nabi Muhammad, ”Wahai nabi, di hari kiamat semua orang akan menjerit memanggil namamu. Berharap dekat denganmu, dan semua akan mengetahui kadar nabi Muhammad”. Tidak ada di hari kiamat orang yang berharap dekat dengan artis, dengan pejabat zalim, ataupun penyanyi. Mereka semua hanya berharap untuk dekat bersama nabi Muhammad. Upayakanlah mulai saat ini kita bersama nabi Muhammad. Kita hidup bersama nabi Muhammad dan kita wafat bersama nabi Muhammad. Mudah-mudahan di hari kiamat kita dikumpulkan bersama Nabi kita Muhammad. Hari dimana orang-orang zalim akan menyesal dan menjeritkan, ”Andai aku menempuh jalan bersama Nabi. Celakanya aku! Andai aku tidak mengambil fulan dan fulanah sebagai temanku. Baik dalam hubungan khusus ataupun umum, baik orang besar maupun organisasi, dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu hilang begitu saja, dan orang-orang tersebut berkeinginan tidak memiliki dan menjalin hubungan dengan itu semua. Andai aku tidak pernah menjalin hubungan dengan si fulan, sebab dia telah menyesatkan aku dari dzikir ketika aku mendapatkan hidayah.”
Al Qur’an menyebutkan tentang hari kiamat, “Hari tersebut dimana Allah tidak akan mengecewakan dan mempermalukan nabinya, Allah tidak akan mengecewakan nabinya dan orang-orang beriman yang bersama nabi Muhammad”. Tiga kata dalam firman itu yaitu “Bersama Nabi Muhammad” mengandung makna, di dalamnya terdapat kecintaan, citarasa, kerinduan, bertetanggaan, kebersamaan, kesaksian menatap, menjalin hubungan, duduk bersama dan dapat saling bersalam-salaman. Karena itu dengan ayat ini para sahabat menjadi senang bukan main, ketika mendengar kata “Bersama dengan Nabi Muhammad”. Tatkala mereka (para sahabat) hidup, mereka membedakan kebersamaan mereka bersama Rasul dengan hal-hal lainnya.
Di saat para sahabat berjihad bersama Rasul di jalan Allah, setiap dari mereka berharap untuk dapat sholat bersama Rasulullah saw. Pernah satu kali orang-orang kafir ingin menyerang mereka ketika melakukan sholat. Maka ketika orang-orang kafir melihat Nabi dan para sahabat usai mengerjakan sholat Dzuhur di saat perang, mereka berkata, “Andai saja kita serang mereka di saat sujud, maka kita akan menang”. Maka turun ayat dari Al-Quran yang memerintahkan mereka untuk membagi dari mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berjaga dan sholat bersama Rasul. Namun siapa di antara kedua kelompok ini yang sholat bersama dengan Nabi Muhammad? Kerinduan dan keinginan mereka untuk sholat bersama Nabi Muhammad ditetapkan oleh Allah. “Aku jadikan kelompok pertama sholat bersama denganmu dan kelompok kedua juga sholat bermasa denganmu”. Allah nyatakan dalam Al-Quran. “Apabila kau berada di antara mereka dan dikumandangkan panggilan sholat, dan hendaknya berdiri sekelompok dari sahabatmu bersamamu dalam sholat. Apabila mereka sudah sujud maka hendaknya bangun dan pindah ke belakang, dan bagian lain yang belum solat menyusul, hendaknya mereka ikut solat bersamamu”. Makna kata “bersamamu” dalam ayat tadi adalah “bersama Rasulullah saw”. Dengan demikian maka, kelompok pertama bersama nabi dank kelompok kedua juga bersama nabi. Allah ta’ala seolah-olah menyatakan, “Kalian bersungguh-sungguh di dalam menjalin hubungan dengan kekasihKu, maka kini Aku turunkan syariat langsung dariKu untuk kalian semuanya sholat bersama Nabi Muhammad”.
Kita menjadi bersama Nabi Muhammad ketika kita mendahulukan syariat dan agama Rasulullah. Bersama Nabi Muhammad dengan mengagungkan agama dan syariatnya dengan mendidik anak-anak dan keluarga kita atas hal tersebut. Sejak kecil mereka mulai mengagungkan ta’zim yang kita ajarkan, mereka sudah mendengar kerinduan kita kepada Nabi Muhammad, sehingga mereka belajar. Dan inilah keadaan yang sebenarnya bagi setiap mukmin. Sebagaimana hadits di dalam Sohibul Bukhari, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman salah seorang kalian hingga aku menjadi yang paling dia cintai lebih dari dirinya, anaknya, dan segenap manusia”.
Seseorang yang dikuasai kerinduan kepada Nabi Muhammad dalam akhir hayatnya maka dimuliakan dengan hadirnya ruh Nabi Muhammad saat dicabut nyawanya. Maka orang tersebut bergembira karena akan berjumpa dengan orang yang dirindukan. Dan orang tersebut mengucapkan seperti yang diucapkan oleh Bilal. Ketika beliau akan wafat istrinya berkata, “Kasihan sekali kau wahai Bilal”. Namun Bilal berkata, “Tidak, justru alangkah nikmatnya hal ini”. Sang istri kemudian bertanya, “Dari mana datang kenikmatan tersebut?”. Dan Bilal pun menjawab, “Karena aku berpikir bahwa sebentar lagi aku akan berjumpa dengan kekasihku”. Istri pun bertanya lagi, “Siapa gerangan kekasihmu Bilal?” Bilal menjawab,” Nabi Muhammad dan pengikutnya”.
Ini adalah harapan dan keinginan yang besar yang tidak akan didapatkan di organisasi dan perkumpulan lainnya, tidak pada negara kecil ataupun besar, ataupun pada orang-orang intelektual. Semua ini hanyalah pada pewaris-pewaris Nabi Muhammad, di dalam harkat untuk menjalin hubungan dengan Nabi Muhammad. Maka ditawarkan tawaran mulia kepada kita dengan anugerah yang mahal dari Allah.
Sesungguhnya telah dikatakan kepada kita tentang orang yang memiliki prasangka baik. Dikatakan, “Seandainya tidak Kau ilhamkan kepada kami harapan meminta anugerahMu, maka tidak Kau jadikan kami memohon dan meminta akan anugerah tersebut”. Sayyidina Umar Bin Khatab dalam hal semacam itu mengatakan, “Yang saya pikirkan bukan dikabulkannya oleh Allah ta’ala, melainkan adalah memohon dan meminta kepada Allah SWT”.
Ada salah seorang yang hidup di jaman Habib Hasan bin Soleh Al Bahr. Orang ini gemar melakukan riba yaitu memiliki pekerjaan sebagai seorang rentenir. Suatu hari orang tersebut memiliki nasabah yang berada di kampung Habib Hasan bin Soleh Al Bahr, maka dia datang untung menagih riba. Di hari Selasa dia datang, dimana hari itu adalah hari pengajian Habib Hasan bin Soleh Al Bahr. Saat dia menanyakan si fulan, ternyata fulan sedang ada majlis Habib Hasan bin Soleh Al Bahr. Kemudian sang rentenir mendatangi majlis tersebut dengan niatan akan menagih si fulan ketika majlis berakhir. Saat itu majlis sedang dipenuhi oleh rahmat Allah, maka orang itu pun pulang. Masapun berlalu namun rahmat Allah tidak berlalu dan tetap terikat pada orang itu.
Bertahun-tahun kemudian sang rentenir menyadari tahun-tahun yang telah dilalui dengan maksiat yang besar kepada Allah dan dia pun ingin bertobat kepada Allah. Maka dia mengutus utusan kepada Syekh Abdullah bin Sa’ad bin Sumair, dan menyuruhnya datang untuk urusan darurat. Sebenarnya Syekh Abdullah enggan untuk datang jika bukan urusan yang penting. Maka Syekh Abdullah bertanya untuk apakah dia dipanggil. Rentenir tersebut mengutarakan niatnya bertobat dan meminta Syekh Abdullah untuk membantunya. Syekh Abdullah bin Sumair pun senang hati untuk membantunya. Sang rentenir menyerahkan seluruh hartanya untuk dikembalikan kepada yang pernah dizalimi olehnya. Dan ia menyesali apa yang telah dilakukannya di waktu lalu. Syekh Abdullah meminta rentenir tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam bertobat kepada Allah, dan kemudian Syekh Abdullah mengembalikan harta-harta yang tercatat kepada yang berhak memilikinya dan harta-harta yang tidak tercatat digunakan untuk keperluan muslimin berjuang di jalan Allah. Sang rentenir bersedia menuruti segala ketentuan pengembalian dan pembagian atas harta yang telah diserahkannya sesuai dengan syariat Islam. Syekh Abdullah membantu dalam proses pengembalian harta-harta tersebut dan memperbaikinya.
Hari demi hari dilalui rentenir dengan tobat yang sebenarnya. Ia sibuk merujuk, menangis memohon ampunan kepada Allah. Hingga ia meninggal wafat dalam keadaan yang demikian itu. Syekh Abdullah merasa takjub atas apa yang diketahuinya, dimana orang yang dulu dalam keadaan yang kurang baik dapat meninggal dalam keadaan yang sangat baik. Kemudian Syekh Abdullah berkunjung kepada Habib Hasan bin Soleh Al Bahr. Habib Hasan menanyakan sebab atas keterlambatan Syekh Abdullah dan apa yang telah terjadi. Lantas Syekh Abdullah pun menceritakan hal luar biasa yang telah disaksikannya. Habib Soleh pun tersenyum dan bertanya kepada Syekh Abdullah apakah dia mengetahui penyebab sang rentenir menerima keberuntungan tersebut. Lantas Habib Soleh menjelaskan bahwa dahulu pernah satu kali rentenir itu hadir ke majlis tepat dimana rahmat Allah sedang turun dan sang rentenir itu mendapatkan rahmat tersebut. Sehingga dengan berkat majlis itu Allah rahmati orang tersebut dan jadikan kematiannya dalam keadaan husnul khotimah.
Mudah-mudahan Allah memberikan khusnul khotimah bagi kita, untuk semua keluarga kita, anak-anak kita, sahabat-sahabat kita, kerabat-kerabat kita, tetangga-tetangga kita, bagi murid-murid kita, kekasih-kekasih kita, dan dan segenap kaum muslimin.