Orang-orang yang berada dalam kebenaran dan agama dari kalangan ulama yang berilmu, pemberi nasehat karena Allah swt dan Rasul-Nya, serta untuk orang-orang Islam tidak boleh berdiam diri ketika melihat dan menyaksian dengan mata kepala mereka sendiri akan keadaan orang-orang awam berpaling dari ilmu dan petunjuk, melanggar perintah Ilahi, tidak menjalankan kewajiban agama, melakukan perbuatan yang diharamkan syariat, lebih suka berada dalam kebodohan daripada pengetahuan, memilih kesesatan sebagai ganti petunjuk, kebatilan sebagai ganti kebenaran, disamping itu mereka memperturutkan syahwat, berupaya mengejar keuntungan yang fana, lebih mengutamakan dunia dari akhirat, dan rela mendapatkan sesuatu yang akan hilang dan musnah sebagai ganti dari sesuatu yang kekal dan abadi. Mereka harus memberikan nasihat, mengupayakan penegakan perintah Allah swt di kalangan mereka, mengajak mereka kepada petunjuk dan kebaikan, dan mencegah mereka dari kejelekan dan kemungkaran. Mereka harus menggunakan kekuatan dan kemampuan, dan berusaha sungguh-sunguh untuk mengatasi persoalan ini, karena usaha itu wajib bagi mereka. Tidak ada alasan (‘udzur) bagi mereka dalam hal ini, tidak ada jalan bagi mereka untuk meninggalkannya. Allah swt telah mengajarkan agama kepada mereka, menjaga mereka dengan agama-Nya, dan mewariskan kepada mereka kitab dan sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam:
إِنَّ الْعُلَمآءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَآءِ إِنَّ الْأَنْبِيَآءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَﺁ
Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majjah, Ahmad dan ad-Darimi.)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
عُلَمَآءُ أُمَّتِي كَأَنْبِيَآءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Artinya: “Ulama dalam umatku seperti layaknya nabi-nabi bani Israil.”5
Di zaman Bani Israil di utus nabi demi nabi untuk memperbaharui syariat Musa as, sampai nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, mengajak mereka untuk menegakkan syariat itu, mendorong mereka untuk mengamalkannya, menakuti-nakuti mereka agar tidak melalaikan perintah Allah swt dan menerjang larangan-Nya. Semua itu berdasar wahyu yang diturunkan kepada mereka. Sebagaimana diketahui dalam berbagai hadits dan cerita. Hingga Allah swt mengutus Nabi ‘Isa bin Maryam as dengan membawa syariat yang menghapus syariat Nabi Musa as. Namun kemudian Bani Israil mengingkari dan mendustakannya, serta membuat berita dusta tentang ibu beliau as. Setelah kenabian ‘Isa as terjadilah masa vakum (fatrah) hingga kemudian Allah swt mengutus hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, pemimpin anak cucu Adam, dengan membawa al-Qur’an dan syariat yang sempurna sebagai penghapus syariat-syariat sebelumnya. Pada saat itu orang-orang Yahudi dan Nasrani mengingkari dan mendustakannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah swt untuk beriman.
Ketika Allah swt mengangkat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai penutup kenabian dan kerasulan, Allah Yang Maha Mulia mewahyukan:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌّ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِّجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللّٰه بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab ayat: 40)
Setelah itu maka ditutuplah pintu kenabian dan kerasulan, dan dijadikan kesempurnaan kerasulan beliau sebagai penutupnya. Sebagaimana Allah swt menjadikannya sebagai permulaan dan pembukaan, maka Allah swt menjadikannya pula sebagai akhir dan penutupan. Setelah beliau tidak ada nabi dan rasul. Lalu berkat anugerah, kemurahan yang melimpah, dan karunia-Nya, Allah swt menjadikan dari kalangan para ulama umat beliau yang merupakan pewaris, pengganti dan pengemban syariat beliau orang-orang yang seperti nabi-nabi Bani Israil dari beberapa sisi atau dari sebagian besarnya. Walaupun kenabian tidak akan mereka dapatkan, dan tidak ada yang mengharapkannya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, dan jalan untuk menuju kepadanya telah tertutup, begitu juga upaya dan usaha tidak mungkin mengantarkan padanya, serta tidak ada waktu yang memungkinkan untuk meraihnya. Semua itu sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan dengannya telah ditutup kenabian dan kerasulan.
——-
5(Telah dipastikan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Fakhr ar-Razi, Ibn Qudamah, al-Asnawi, al-Baaziri dan lain-lainnya)
Sumber : Dakwah Cara Nabi Karya al Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad