Akan tetapi, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak begitu. Beliau tidak sudi memakai cara-cara seperti itu sebab cara-cara semacam itu memang dapat meruntuhkan sendi-sendi dakwah itu sendiri.
Kalau saja tindakan seperti ini dapat diterima dengan dalih “hikmah dan strategi”, kita tidak akan dapat membedakan si jujur yang berterus-terang dalam kejujurannya dengan si pendusta yang penuh intrik dalam kebohongannya. Jika tindakan semacam ini dibenarkan, orang-orang yang berdakwah dengan tutus akan bekerja sama dengan para dajjal dan penyihir, bergandengan tangan menempuh jalan yang bernama “hikmah (kebijaksanaan) dan strategi”.
Semangat agama ini dibangun di atas pilar kemuliaan dan kejujuran, baik pada jalan dan cara dakwah (wasilah) maupun tujuan (ghayah). Sebagaimana tujuan, wasilah juga hanya boleh dibangun dengan kejujuran, kehormatan, dan kebenaran.
Kesimpulannya, semua orang yang menyeru ke jalan Islam harus siap berkorban dan berjihad sebab jalan yang akan mereka tempuh tidak boleh dilalui sambil “menoleh ke kanan dan ke kiri”.
Amatlah keliru jika prinsip “hikmah” (kebijaksanaan) dalam berdakwah dianggap sebagai cara untuk mempermudah kerja seorang penyeru kebenaran atau untuk menyingkirkan kesulitan dan aral melintang. Bukan! Penerapan prinsip “hikmah” dalam berdakwah merupakan cara yang paling menyentuh akal dan pikiran manusia. Artinya, di tengah kondisi medan dakwah yang berubah-ubah dan banyak halangan, kebijaksanaan berperan menyiapkan jihad dan pengorbanan dengan jiwa dan raga. “Hikmah” sesungguhnya berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Anda tentu tahu, melihat gelagat para pembesar Quraisy akan menerima seruan dakwahnya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pun dengan penuh semangat segera menemui mereka. Karena teramat bersemangat, sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak memedulikan sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Umm Maktum. Secara kebetulan, Abdullah ibn Ummu Maktum lewat dan singgah di tempat itu. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak mau kehilangan kesempatan emas untuk berdakwah kepada para pembesar Quraisy, sedangkan Ibnu Umm Maktum masih bisa beliau temui di lain waktu.
Ternyata, tindakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tersebut langsung mendapat teguran dari Allah Swt. Dia berfirman, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya,” (QS Abasa [80]: 1-2). Allah Swt. tidak setuju dengan “ijtihad” yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam meskipun tujuan yang ingin dicapai teramat luhur dan mulia. Hal itu disebabkan, “jalan” yang ditempuh Rasulullah pada saat itu menyakiti hati sesama muslim dengan tidak memedulikan kehadirannya hanya demi mengambil hati orang-orang musyrik. Jalan seperti itu bukanlah yang diinginkan Islam.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi