Setibanya di Madinah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Iangsung mengikat kalangan Muhajirin dan Anshar dengan tali persaudaraan yang teguh. Beliau menjadikan mereka saling bersaudara dibawah nilai-nilai kebenaran dan kesetaraan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lah yang telah mempersaudarakan Ja’far bin Abi Thalib ra dengan Mu’adz bin Jabal ra.; Hamzah bin Abdul Muthallib ra dengan Zaid bin Haritsah ra ; Abu Bakar Ash -Shiddiq ra. dengan Kharijah ibn Zuhair ra.; Umar bin Khaththab ra. dengan Utban bin Malik ra.; Abdurrahman bin Auf ra. dengan Sa’d bin Rabi’ ra., dan seterusnya ….85
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lalu mengikat tali persaudaraan itu antara semua sahabat beliau secara umum, seperti yang akan kita lihat nanti.
Bukan sebatas persaudaraan secara spiritual, Rasulullah bahkan mengikat tali persaudaraan antarsemua umat Islam kala itu hingga mencapai ranah material. Ketetapan persaudaraan yang diikat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini terus ditetapkan sebagai yang lebih utama daripada hubungan persaudaraan sedarah (termasuk dalam hak waris), akhirnya hukum itu di-naskh ketika pecah Perang Badar Kubra. Tepatnya, ketika turun ayat Al-Qur’an yang menyatakan, “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitob Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segola sesuatu,” (QS Al-Anfal [8]: 75)
Ayat inilah yang me-nasakh semua ketetapan hukum yang pernah berlaku sebelumnya. Dan, hukum waris antara para sahabat yang dijadikan saudara oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pun diangap tidak berlaku lagi. Sejak saat itu, semua hukum waris kembali berdasarkan nasab dan hubungan darah, sedangkan semua umat Islam tetap dinyatakan sebagai saudara.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra , ”Ketika orang-orang Muhajirin baru tiba di Madinah, tiap-tiap mereka berhak mewansi harta peninggalan saudaranya dari kalangan Anshar—dengan mengenyampingkan hubungan darah—sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Tapi, ketika turun ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. ” (QS An-Nisas [4]: 33), dilanjutkan dengan firman Allah, “Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.” (QS An-Nisa’ [4]: 33). Yang dimaksud dengan “bersumpah” adalah bersumpah untuk menolong, melindungi, dan menasihati. Maka, sejak saat itu hukum warisan berdasarkan persaudaraan yang pernah ditetapkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dihapus, dan hubungan darah kembali digunakan bagi sesama muslim.”
——-
85Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 1/504 dan Thabaqat Ibnu Sa’d, 3/2.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi