Harta yang wajib dibelanjakan ada dua macam. Pertama, harta yang wajib dibelanjakan sebagai kewajiban syariat. Kedua, harta yang wajib dibelanjakan sebagai suatu tata krama yang baik (muru’ah). Apabila seseorang tidak menunaikan salah satu dari keduanya, ia termasuk orang kikir. Jika yang tidak ditunaikan adalah kewajiban syariat, maka ia lebih kikir lagi. Yang termasuk kewajiban sebagai suatu tata krama ialah tidak mempersulit dan tidak terlalu memperhitungkan hal-hal yang dianggap remeh oleh manusia.
Orang pelit adalah orang yang menahan hartanya, padahal syariat dan atau tata krama yang baik menghendakinya untuk membelanjakannya. Maka, barang siapa telah membelanjakan harta yang diharuskan oleh syariat dan tata krama, ia bukan termasuk orang kikir. Namun, ia belum dinamakan dermawan sebelum membelanjakan melebihi dari kewajiban tersebut.
Dengan demikian, berbuat baik melebihi apa yang diwajibkan oleh tata krama adalah kedermawanan. Syaratnya, perbuatan itu harus disertai dengan hati yang tulus, bukan karena mengharapkan pelayanan, imbal balik, pujian, maupun ucapan terima kasih. Orang yang mengharapkan ucapan terima kasih dan pujian adalah pedagang, bukan seorang dermawan. Sebab, kedermawanan adalah memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan. Pengertian kedermawanan seperti ini secara hakiki hanya disandang oleh Allah. Bagi manusia, pengertian kedermawanan seperti di atas bersifat kiasan karena setiap orang yang menderma pasti memiliki tujuan. Oleh sebab itu, jika balasan yang diharapkan hanyalah pahala dan kesucian hati, itu sudah cukup disebut sebagai kedermawanan.
Salah seorang ahli ibadah wanita pernah bertanya kepada orang-orang, “Apakah kedermawanan itu dalam konteks agama?” Mereka menjawab, “Jika kita beribadah kepada Allah dengan senang hati dan tanpa merasa terpaksa.” Sang ahli ibadah kembali bertanya, “Dan kalian mengharapkan pahala dari ibadah kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Sang ahli ibadah bertanya lagi, “Mengapa meminta pahala?” Mereka menjawab, “Karena Allah telah menjanjikan kepada kita sepuluh pahala atas satu kebaikan.” Sang ahli ibadah kembali bertanya, “Jika kalian memberikan satu dan mengambil sepuluh, bagaimana bisa kalian disebut dermawan?” Mereka lalu balik bertanya, “Lalu apa kedermawanan menurutmu?” Sang ahli ibadah menjawab, “Jika kalian beribadah kepada Allah dengan perasaan nikmat dan lezat dalam kepatuhan kepada-Nya. Kalian tidak mengharapkan pahala, tetapi pasrah atas apa yang dikehendaki Allah terhadap kalian.”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz