Budi Pekerti Bisa Berubah
Seandainya budi pekerti tidak bisa berubah, tidak ada gunanya lagi nasihat, pengarahan, dan pendidikan. Lagi pula Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki budi pekerti.”
Sesungguhnya amarah dan nafsu bisa dipengaruhi dengan pilihan. Jika hendak melenyapkan dan mematikan keduanya, tentu saja kita tidak bisa. Namun, kita bisa mengarahkan dan mengatur keduanya dengan latihan dan penempaan diri. Sebagai perumpamaan, biji apel maupun kurma bukanlah apel atau kurma itu sendiri. Biji kurma ditakdirkan untuk bisa berubah menjadi pohon kurma jika dirawat dengan baik. Adapun biji apel sudah digariskan tidak bisa menjadi pohon apel meskipun telah ditanam dan dirawat dengan baik. Jadi, ada hal yang mungkin diubah dan ada hal yang tidak mungkin diubah. Salah satu hal yang mungkin diubah dan diperbaiki ialah budi pekerti.
Watak dasar manusia mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk dipengaruhi dan diubah. Perbedaan itu ditentukan oleh perbedaan kekuatan naluri dasar (baca: amarah dan nafsu) seseorang dan seberapa kuat ia dipengaruhi oleh perilaku yang sering dilakukannya.
Orang yang tidak bisa membedakan kebenaran dari kebatilan dan kemuliaan dari kehinaan, bisa dengan cepat diperbaiki budi pekertinya. Ia hanya memerlukan seorang guru dan pembimbing.
Orang yang sudah bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi tidak terbiasa mengerjakan kebaikan dan malah tunduk pada hawa nafsunya, lebih sulit untuk diluruskan budi pekertinya. Untuk mengubahnya, apa yang sudah tertanam kuat di jiwanya harus dicabut terlebih dulu. Setelah itu, harus ditanamkan pada dirinya kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Orang yang meyakini perilaku buruk sebagai kemuliaan dan terbiasa melakukan keburukan, hampir tidak bisa diperbaiki budi pekertinya. Kita hanya bisa berharap agar ia bisa menjadi baik, tetapi hal itu termasuk kejadian langka.
Orang yang paling sulit untuk diperbaiki budi pekertinya adalah orang yang tumbuh bersama nilai-nilai yang salah, terbiasa melakukan perilaku buruk, dengan memandang keburukan sebagai keutamaan dan membanggakannya, serta menganggap hal itu bisa meninggikan derajatnya.
Orang model pertama dinamakan orang bodoh. Orang kedua bodoh dan sesat. Orang ketiga bodoh, sesat, dan fasik. Adapun orang keempat adalah orang bodoh, sesat, fasik, dan jahat.
Yang dimaksud dengan “mengubah budi pekerti menjadi baik” bukanlah mematikan elemen amarah dan nafsu secara total, melainkan meluruskan dan memperbaiki keduanya. Allah Swt. telah berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Ketegasan di sini tiada lain bersumber dari elemen amarah. Seandainya amarah disingkirkan, tentu tidak ada syariat yang bernama jihad. Allah pun telah menyatakan bahwa salah satu ciri orang yang beriman ialah, Orang-orang yang menahan amarahnya (QS Ali ‘Imran [3]: 134). Allah tidak mengatakan orang-orang yang menghilangkan amarahnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perbaikan budi pekerti adalah mengembalikan elemen amarah dan nafsu pada titik keseimbangan. Allah Swt. juga berfirman, Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar (QS Al-Furqan [25]: 67). Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (QS Al-Isra’ [17]: 29). Makan dan minumlah kalian, tetapijangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Mengenai amarah, Allah pun berfirman, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Demikian pula kedermawanan berada di antara pemborosan dan kekikiran, keberanian di antara kegentaran dan kesembronoan, dan’iffah di antara ketamakan dan kebekuan (tidak bernafsu). Jadi, semua sifat baik berada di tengah, sedangkan semua sifat yang berada di dua sisi ekstrem merupakan sifat yang tercela.
Hanya saja, seorang guru ruhani dalam membimbing murid-muridnya diharuskan untuk menistakan perilaku emosional dan kikir secara mutlak. Tujuannya, agar para murid tidak menyisakan kebakhilan dan kemarahan. Jika mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melenyapkan kebakhilan dan kemarahan, tentu tidak mudah bagi mereka untuk melenyapkan keduanya. Dengan begitu, mereka akan kembali pada titik tengah.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz